Mata

AMRI RASYIDIN, lahir di Palembang, 15 Mei 1962. Kedua orangtuanya berasal dari Ranah Minang, Sumatera Barat, tepatnya di Nagari Labuatan, Simabur, Kabupaten Tanah Datar. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1974 dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun 1977 di Simabur. Kemudian menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Padang Panjang, Sumbar, pada tahun 1981. Pendidikan Sarjana (Strata-1) diselesaikan pada tahun 1994 di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (STIA-LAN RI) Jakarta, dalam bidang Administrasi Publik. Pendidikan Magister (Strata-2) diselesaikan pada tahun 2004 di Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka, Jakarta, dalam bidang Manajemen Pendidikan. Sejak tahun 1985 sampai sekarang bekerja sebagai PNS di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pada tahun 1983-1989 pernah  aktif menulis artikel sastra dan cerpen, dan sempat menjadi wartawan freelance di beberapa suratkabar mingguan Ibukota. Ketika kuliah di STIA LAN Jakarta, pada 1990, mulai aktif menulis artikel Administrasi Publik dan Manajemen Pembangunan di Harian Media Indonesia, Terbit, Suara Pembaruan, dan Majalah Akrab. Memasuki ambang senja, kembali mencoba “merentang hayal mengurai makna” melalui kerja kreatif menulis cerpen. Ketika seorang teman bertanya, “kok tumben pak Amri kembali menulis cerpen di hari tua?” Jawabannya:  “dengan cerpen manusia tak pernah merasa tua.”

M A T A

Cerpen Amri Rasyidin

Akhir-akhir ini Pono terlihat seperti orang bingung. Padahal sebelumnya dia tipe orang yang ceria, suka bercanda dan mudah tersenyum. Gara-gara Pono sering seperti orang bingung, isterinya juga ikut-ikutan jadi bingung.  Pada awalnya isterinya diam saja melihat perubahan sikap sang suami. Tapi karena mulai merasa tidak tahan, atau tepatnya mulai kesal, isterinya lalu membrondong Pono dengan rentetan pertanyaan.

“Kenapa akhir-akhir ini Uda kelihatan seperti orang bingung? Apa yang menyebabkan Uda bingung? Apa yang kurang pada kita?  Harta banyak! Mungkin aku kurang menyervis Uda? Apa ada yang salah pada diriku, Uda? Atau apa…. ”

“Cukup! Sudah! Sudah!” Pono kesal dengan berondongan pertanyaan isterinya.

“Tapi Uda diam saja! Coba jelaskan kenapa bingung? Jangan bikin orang jadi bingung juga!”

Tiba-tiba Pono bangkit dari duduknya. Tapi raut mukanya masih seperti orang bingung. “Percuma kujelaskan kenapa aku bingung? Semakin kujelaskan makin kau tambah bingung. Jadi lebih baik kita berdua niikmati saja kondisi kebinungan ini.”

Isterinya jadi melongo. Lalu menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Isterinya jadi semakin bingung! Menyadari suaminya dalam kondisi semakin membingungkan, lantas isterinya melangkah ke luar rumah, sambil membanting pintu pertanda  kesal.

Pono tinggal sendirian di dalam rumah. Pono kembali merenungi fenomena yang membuat dia bingung. Beberapa waktu lalu dia bermimpi melihat mata di atas plafon kamarnya. Awalnya satu bola mata, persis seperti mata bayi bermata satu yang lahir di Israel belum lama ini, atau mirip mata mendiang mantan Perdana Menteri Israel, Moshe Dayan. Tapi tidak berhenti sampai di situ. Lamat-lamat muncul lagi sosok dua bola mata, atau sepasang mata orang normal. Pono malah terperanjat. Padahal sebelumnya di saat melihat satu mata responnya  biasa saja. Ternyata dua bola mata yang terlihat di atas plafon kamar Pono itu mengerling seperti mata seorang  wanita yang sedang menggoda. Pono mencoba memejamkan matanya, lalu perlahan membuka kembali matanya. Yang terlihat justru dua pasang mata, atau seperti nama tayangan talkshow di sebuah TV,  “empat-mata”.  Pono kembali memejamkan matanya. Tak lama kemudian dengan perasaan takut dia kembali membuka kelopak matanya. Kali ini dia merinding, karena yang muncul justru banyak pasang mata. Ya, seperti mata-mata. Sebab banyak mata itu menatapnya dengan sinis dari semua arah, seakan mata-mata dalam film spionase.

Demikianlah mimpi Pono. Mimpi melihat mata! Dan mimpi itulah kemudian yang membuat dia mendadak seperti orang bingung. Mimpi itu selalu dirasakannya mengikuti jalan pikirannya.  Dia coba alihkan pikirannya ke hal-hal lain, tapi mimpi tentang mata itu tetap saja muncul kembali. Begitulah seterusnya sampai dia terpaksa dibawa ke Psikiater.

“Jadi gara-gara mimpi melihat mata, Pak Pono jadi bingung?” tanya Ibu Psikiater dengan senyum.

“Ya, betul.”

“Apakah Pak Pono pernah punya pengalaman buruk di masa lalu?”

“Tidak pernah!”

“Coba ingat baik-baik. Mungkin Pak Pono pernah melakukan kesalahan yang pernah diintip orang?”

Pono diam sejenak. Dia coba kerahkan pikirannya untuk mengingat kembali perjalanan hidupnya di masa lalu. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk menjawab: “Tidak!  Tidak pernah saya melakukan kesalahan yang sempat diintip orang.”

“Tapi kalau kesalahan yang tidak diintip orang?” Psikiater bertanya agak menohok.

“Ya, mungkin pernah. Tapi siapa yang tidak pernah berbuat salah? Kalau saya melakukan kesalahan tentu hanya saya dan Tuhan yang tahu,” ujar Pono mencoba membela diri.

“Maaf, Pak Pono, pertanyaan saya tidak bermaksud menjebak Bapak,” kata Psikiater  menyadari  kekeliruannya.

“Ya, Ibu dokter kayak Polisi atau Jaksa saja! Pertanyaan Ibu bersayap,” ujar Pono memperlihatkan rasa ketersinggungannya.

“Saya tidak ingin menjebak Pak Pono. Saya ini bukan sedang menginterogasi Bapak. Saya hanya ingin mengetahui pengalaman masa lalu Pak Pono yang mungkin ada hubungannya dengan mimpi mata itu. Tapi ya, sudahlah. Sekarang Pak Pono saya beri obat penenang saja.”

Ibu Psikiater yang manis itu meresepkan obat untuk Pono. Sejurus kemudian Pono pulang. Tapi dia tetap seperti orang bingung!

Seminggu, sebulan, dan sampai beberapa bulan kemudian penyakit yang diderita Pono tetap saja. Bingung! Membingungkan! Sampai-sampai penyakit bingung Pono merembet ke orang-orang sekitar dia. Isterinya, familinya, lalu orang sekantornya. Semua pada bingung!

Akhirnya, karena sudah sampai di puncak kebingungan, alias super-bingung, Pono mulai pasrah. Dia tidak lagi mencoba pergi berobat atau konsultasi. Tapi untung, tak lama kemudian datanglah saran dari seorang teman lamanya yang kebetulan mengunjunginya. Temannya ini menyarankan agar Pono berkonsultasi  saja dengan  seorang Ustad yang terkenal piawai mentakwil mimpi!  Menurut temannya, apa yang diderita Pono bukanlah jenis penyakit. Tapi perasaan bersalah yang lama terpendam. Karena saran temannya cukup meyakinkannya, Pono pun mendatangi Ustad dimaksud.

Di rumah Ustad, setelah berbasa-basi, lalu Pono menceritakan perihal mimpi mata yang telah membuatnya kebingungan itu. Ustad pun mulai tafakur, seperti orang sedang bersemedi. Sejurus kemudian, Ustad membuka matanya, perlahan-lahan mulai membuka dialog.

“Pak Pono, sebelum kita mulai, saya minta Pak Pono menjawab dengan jujur setiap pertanyaan saya. Apakah Bapak siap?”

“Siap, Pak Ustad.”

“Baiklah! Pak Pono bekerja di mana?”

“Di kantor pajak, Pak Ustad,” jawab Pono sopan.

“O, Pono. Pak Pono merasa senang bekerja di sana?”

“Ya, tentu saya senang, Pak Ustad.”

“Maksud saya apakah Pak Pono pernah merasa stress bekerja sebagai pemungut pajak?”

“Kalau stress ringan ya sering, Pak Ustad. Tapi kalau stress berat baru kali ini. Tepatnya sejak mimpi tentang mata.”

“Tapi sejujurnya, apakah stress Pak Pono itu karena mimpi mata atau karena heboh kasus oknum pegawai pajak akhir-akhir ini?”  Pertanyaan Ustad mulai agak menyelidik.

Pono bergeming. Dia berusaha untuk tenang. “Bukan karena heboh itu, tapi murni karena mimpi mata,” jawab Pono dengan kerongkongan agak tersendat.

“Baik,  sekarang pertanyaan saya, pernahkah Pak Pono melakukan kesalahan selama menjadi petugas pajak?”

“Maksudnya kesalahan seperti apa, Pak Ustad?”

“Maksud saya kesalahan seperti yang banyak diberitakan koran itu, lho…. Kongkalingkong soal pajak!”

“O, kalau itu, jujur saja, Pak Ustad, sulit untuk menghindarinya.   Ya, mungkin hampir semua petugas pajak yang berhubungan langsung dengan wajib pajak, rasanya sulit untuk tidak kongkalingkong,” jawab Pono polos.

“Pono, sekarang saya akan takwilkan arti mimpi Pak Pono itu,” ujar Ustad sambil memperbaiki posisi duduknya. “Pertama Pak Pono kan mimpi  melihat satu mata, lalu dua mata, selanjutnya empat mata, dan terakhir banyak pasang mata. Begitu kan?”

“Ya. Lalu apa arti semua itu, Pak Ustad.” Pono nampak penasaran.

“Menurut analisis kekuatan gaib saya, satu bola mata  itu merupakan simbol bahwa yang pertama melihat atau mengetahui  perbuatan kesalahan Pak Pono dalam menjalankan profesi pemungut pajak itu adalah Pak Pono sendiri, dan tentunya juga Tuhan. Lalu, dua bola mata atau sepasang mata yang kata Pak Pono seperti mengerling, itu artinya kesalahan Pak Pono mulai diketahui oleh isteri Pak Pono. Pantas dua mata itu seperti mengerling,” kata Ustad sembari tersenyum kecut.

“Kemudian, dua pasang mata atau empat mata,” lanjut Ustad sedikit berhati-hati. “Maaf ya, itu artinya  Pak Pono mulai berkongkalingkong dengan wajib pajak atau dengan atasan langsung Pak Pono.”

“Lalu, kalau banyak pasang mata?” tanya Pono dengan mata agak terbelalak.

“Nah, kalau makna mimpi melihat banyak pasang mata itu, terus terang saja, saya tidak akan buka sekarang.”

“Lho, kenapa, Pak Ustad?”

“Begini, saya tidak mau mendahului Tuhan. Kita lihat saja nanti, paling lama satu minggu ke depan,” ujar Ustad menutup konsultasinya.

Setelah selesai berkonsultasi dengan Ustad, rasa bingung Pono sedikit mereda. Setidaknya beberapa hari dia mulai agak tenang, dan tidurnya pun mulai bisa lelap. Tapi seminggu kemudian, tanpa ada petir dan mendung,  tiba-tiba Pono diseret oleh petugas Polisi. Lalu berbagai media massa pun ramai memberitakan kasus besar yang melibatkan Pono. Belakangan Pono dituduh telah melakukan penggelapan hasil pemungutan pajak. Sekarang Pono baru sadar, inilah makna mimpinya melihat banyak pasang mata itu. []

Jakarta, 20 Agustus 2010

Related posts

Leave a Comment

fifteen − fifteen =